Hari Bumi Bertepatan Dengan Putusan MK: Nyalakan Tanda Bahaya Atau Pemulihan Indonesia?

Siaran Pers Hari Bumi 2024
Eksekutif Nasional WALHI

Jakarta, 22 April 2024 – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat total bencana yang terjadi sepanjang 2023 sebanyak 5,400 kejadian. Jumlah ini mengalami kenaikan sekitar 40% dibanding tahun 2022. Berdasarkan jenisnya, kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana yang paling sering melanda sepanjang yang tercatat sebanyak 2.051 kejadian, lalu banjir 1.255 kejadian, lalu cuaca ekstrim dan tanah longsor masing-masing sebanyak 1.261 dan 591 kejadian, lalu gelombang pasang dan abrasi sebanyak 33 kejadian.

Rentetan bencana tersebut telah mengakibatkan 275 orang meninggal dunia, sebanyak 5.795 orang luka-luka, dan 33 orang hilang. Selanjutnya sebanyak 8.491.288 orang yang menderita dan mengungsi. Lebih lanjut, BNPB mencatat, setidaknya 47.214 rumah mengalami kerusakan dan sebanyak 1.291 fasilitas publik berupa sekolah, tempat peribadatan, dan fasilitas kesehatan mengalami kerusakan.

Apa yang terjadi di Indonesia tidak lepas krisis iklim global yang terus memburuk. Sejak pertengahan tahun 2023, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres telah memperingatkan bumi telah memasuki era pendidihan global (global boiling), dengan naiknya temperatur bumi sebesar 1,5 derajat celcius dibandingkan dengan era sebelum pra revolusi industri. Kenaikan temperatur ini ditandai oleh terakumulasinya emisi di atmosfer bumi dalam jumlah yang semakin besar.

Berdasarkan data Lembaga Global Carbon Project (GCP), total emisi karbon dari bahan bakar fosil disumbang oleh empat sumber, yaitu batu bara, minyak bumi, gas alam, dan semen. Perhitungan GCP pada tahun 2022 menunjukkan emisi karbon dari batu bara menjadi porsi paling besar, yakni sekitar 41 persen dengan total polutan sebanyak 15,1 gigaton. Urutan kedua adalah minyak bumi dengan besaran emisi karbon 12,1 gigaton, disusul gas alam (7,9 gigaton), dan sisanya adalah industri semen (1,5 gigaton).

Hari bumi kali ini juga dibarengi dengan dibacakannya putusan MK terkait sengketa Pemilihan Presiden, yang menandai berlapis upaya pembangkangan konstitusi yang dilakukan oleh rezim. Masih lekat dalam ingatan kita pembangkangan konstitusi Rezim Jokowi dalam upaya menggolkan Undang-Undang Cipta Kerja bahkan diiringi dengan represi terhadap kelompok penolak Undang-Undang Cipta Kerja. Setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUUXVIII/2020 (Putusan MK 91), Jokowi tetap bergeming dan tetap menyatakan bahwa investasi tidak berubah pasca putusan Mahkamah Konstitusi, dan bahkan mengancam untuk memecat posisi aparatur negara yang tidak mengawal investasi yang akan masuk. Padahal amar putusan poin 7 dalam Putusan MK 91 menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja.

Krisis Indonesia Semakin Berlapis

Krisis iklim yang terus memicu penambahan dan percepatan bencana akan semakin memberikan dampak buruk kehidupan masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang, terutama bagi 104 juta penduduk yang tinggal di kawasan pesisir Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam mendesain kebijakan pembangunan, termasuk perencanaan pembangunan jangka panjang nasional sekaligus perencanaan pembangunan jangka menengah nasional.

Namun, fakta menunjukkan sebaliknya. Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo dalam sepuluh tahun terakhir tidak menunjukkan political will menyelesaikan persoalan krisis iklim di Indonesia. Lahirnya UU Mineral dan Batubara, UU Cipta Kerja, serta tak adanya RUU Keadilan Iklim membuktikan bahwa agenda keadilan iklim tidak ada dalam pemerintahan Joko Widodo.

Tak berhenti di situ, Joko Widodo telah menyiapkan penerusnya, yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Periode 2024-2029. Dengan terpilihnya Prabowo dan Gibran yang menghancurkan nilai-nilai dan prinsip demokrasi, Joko Widodo ingin memastikan agenda pembangunan Indonesia sama seperti yang dirinya dan kelompok oligarki inginkan, yaitu melanjutkan eksploitasi sumber daya alam baik di darat maupun di laut. Dengan kata lain, Joko Widodo ingin melanjutkan politik eksploitasi sumber daya alam, melalui Prabowo dan Gibran.

Pilihan rezim Joko Widodo untuk menggenjot pertambangan mineral kritis seperti nikel, bauksit dan kuarsa misalnya telah mengakibatkan 1,4 juta hektar kawasan hutan di Indonesia dilepas untuk kawasan pertambangan mineral kritis, sebagaimana daftar pertambangan mineral yang termuat dalam Keputusan Menteri ESDM No.296.K/MB.01/MEM.B/2023 tentang Penetapan Jenis Komoditas yang Tergolong dalam Klasifikasi Mineral Kritis.

Pada konteks hutan dan kebun, politik pengelolaannya diproyeksikan akan semakin parah kedepan. Presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo dan Gibran akan terus mendorong pembesaran dan perluasan ekstraksi hutan serta sawit. Biofuel yang menjadi salah satu programnya, akan mendorong ekspansi perkebunan sawit, terutama di wilayah Timur, seperti Papua dan Maluku.

Dalam kebijakan saat ini, setidaknya ada tiga skenario yang dibangun dalam melakukan simulasi setelah memperhatikan dinamika dari kebijakan biodiesel sejak akhir tahun 2019, yaitu Skenario 1 – jika sampai tahun 2025 diterapkan B20; Skenario 2 – jika sampai 2025 diterapkan B30, serta Skenario 3 – jika mulai 2021 diterapkan B50 sampai 20254. Artinya, hanya untuk implementasi 50% biodiesel, harus membuka lahan sawit baru seluas 9,29 juta ha atau setara dengan 70% dari luas lahan sawit menghasilkan tahun 2019.[1] Maka pembukaan hutan-hutan tersisa di Papua dan Maluku sebuah keniscayaan.

Program lainnya berkaitan dengan pembangunan hutan tanaman energi yang diklaim sebagai bentuk transisi energi. Untuk memenuhi co-firing 33 unit PLTU dibutuhkan 2,33 juta hektare Hutan Tanaman Energi (Data Trend Asia;2022). Bukan hanya kedua program diatas yang berbahaya, perdagangan karbon dengan mekanisme offsetting juga diproyeksikan akan semakin digalakkan oleh pemerintahan baru kedepan. Program berbahaya perdagangan karbon ini akan mengkapling hutan-hutan tersisa yang didominasi hutan adat serta Wilayah Kelola Rakyat untuk korporasi. Tentunya ini akan semakin memperpanjang rantai konflik serta menjadi ancaman kriminalisasi baru bagi rakyat.

Melanjutkan logika pembangunan rezim yang sekarang akan sama dengan memperpanjang krisis di Indonesia menjadi semakin berlapis karena dampak buruk krisis iklim yang dihadapi oleh masyarakat, diperparah oleh krisis demokrasi dan juga krisis politik. Dua krisis yang disebut terakhir itu menyebabkan hilangnya wawasan keadilan iklim dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan Indonesia.

Nyalakan Tanda Bahaya!

  

[1] Halimatussadiah, Moeis, dkk. 2020. Risiko Kebijakan Biodiesel dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan. Jakarta. Universitas Indonesia