Aksi Warga Pedukuhan Sepat Mempertahankan Kelestarian Waduk Sepat Berbuah Kriminalisasi

Siaran Pers
WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA (WALHI)

Usaha mempertahankan waduk sepat, oleh warga di Surabaya Jawa Timur sejak 2008, justru “berbuah” kriminalisasi warganya , saat ini waduk sepat ditukar guling kepada pengelola swasta Ciputra, meski memiliki fungsi resapan yang penting (termasuk pengendalian banjir), namun pemerintah justru tetap melakukan tukar guling yang diduga kuat terindikasi maladministrasi, meski belum ada izin apapun serta analisa lingkungan yang memadai, namun fakta dilapangan waduk sudah mulai diuruk untuk perumahan siang ini, 3 Desember 2018. Pukul 11.00-12.00 warga didampingi WALHI akan melakukan pengaduan ke KOMNAS HAM

-----------

Pemerintah Kota Surabaya saat ini gencar menunjukkan keindahan pengelolaan ruangnya dengan gambaran pohon-pohon Tabebuya yang tengah berbunga dengan tagline yang begitu menawan: Surabaya Berbunga. Namun kampanye keindahan tersebut seolah menutup mata pada kenyataan bahwa kegagalan tata kelola wilayah Kota Surabaya yang telah membiarkan aset-aset publik dikuasai pengambang-pengembang besar telah mengakibatkan setidaknya dua orang warga menghadapi ancaman kriminalisasi.

Senin (3/12) 15 warga kota Surabaya yang berasal dari Pedukuhan Sepat, Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri mendatangi kantor Komnas HAM dan Kompolnas untuk mengadukan nasib mereka yang sekarang dilaporkan oleh pengembang perumahan PT Ciputra Surya kepada pihak kepolisian. Padahal aksi spontan yang dilakukan warga merupakan respon dari usaha mereka untuk mempertahankan kelestarian waduk yang berada di lingkungan mereka. Dalam laporannya, pihak PT Ciputra Surya, Tbk membuat tuduhan bahwa warga pedukuhan Sepat telah memasuki pekarangan tanpa izin dan melakukan perusakan properti. Sebagai akibatnya dua orang warga bernama DARNO dan DIAN PURNOMO ditetapkan sebagai tersangka oleh POLDA JAWA TIMUR.

Penetapan tersangka kepada dua orang ini jelas dapat dilihat sebagai upaya kriminalisasi atas dasar hal-hal berikut: Pertama, Warga masuk ke area waduk karena mendengar suara air deras menyerupai banjir, saat sedang melakukan Sholat Tarawih di dekat waduk. Padahal saat itu kondisinya tidak sedang hujan. Selain itu, Debit air yang mengalir di selokan yang terhubung dengan waduk, arusnya terpantau deras. Hal ini tentunya menimbulkan kecurigaan warga, bahwa ada upaya pengeringan waduk secara paksa, sehingga membuat warga harus bertindak agar waduk Sepat tidak mengering. Kedua, Sebelum memasuki lokasi waduk, warga terlebih dahulu berkoordinasi dengan LPMK (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan) Lidah Kulon. Ketua LPMK Lidah Kulon justru menyarankan untuk bertemu di lokasi waduk Sepat langsung. Dengan dasar ini, warga akhirnya berbondong-bondong memasuki waduk melalui pintu utama waduk. Setelah di dalam waduk, warga langsung menghubungi Polsek Lakasantri dan Camat Lakasantri untuk datang ke lokasi. Tidak lama kemudian petugas Kepolisian Polsek Lakasantri tiba di lokasi. Ketiga, saat memasuki waduk dan mengecek pintu air waduk, warga menemukan bahwa memang pintu penutup air di bagian bawah sudah terpotong, sehingga tidak bisa ditutup kembali. Melihat hal tersebut, warga berkoordinasi dengan Polsek Lakasantri, Camat Lakasantri dan PT Ciputra Surya. Pihak Ciputra kemudian sepakat untuk membuatkan penutup pintu air yang sudah dipotong. Setelah menunggu hampir tiga jam penutup pintu air tersbut tidak kunjung datang, agar air di waduk tidak keluar terus menerus, warga berinisiatif menutup sementara pintu air dengan tanah yang ada di sekitar waduk sampai pintu air tertutup. Keempat, tidak ada perusakan apapun yang dilakukan oleh warga saat berada di lokasi waduk, bahkan tidak ada paksaan atau himbauan supaya warga keluar dari waduk. Warga keluar dari waduk karena inisiatif mereka sendiri. Jika diilihat dari hal tersebut, maka tuduhan kejahatan atas warga berdasarkan pasal 167 KUHP dan 170 KUHP tersebut menjadi tidak terbukti.

Upaya kriminalisasi terhadap warga yang sedang memperjuangkan kelestarian lingkungan dan ruang hidupnya ini tentu saja bertentangan dengan pasal No. 66 UU 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memuat sebuah pasal yang berbunyi: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Namun pasal ini seolah tidak berarti dihadapan kerakusan investasi pemodal yang mengancam keselamatan lingkungan dan ruang hidup rakyat. Padahal warga dalam konteks kejadian, sedang menyelamatkan waduknya agar tidak dikeringkan. Apalagi, kasus ini terkesan dipaksakan dan seperti drama. Ada alur ceritanya, cukup klise dan naif. Padahal, dalam hukum harus benar-benar melihat konteks dan substansi. Jika memang warga dikriminalisasi atas nama hukum, maka ini preseden buruk bagi penerapan dan penegakkan hukum di Indonesia.

Narahubung Rere Christanto (Direktur WALHI JATIM) +62 838-5764-2883
Wahyu A. Perdana (Manajer Kampanye-Eksekutif Nasional WALHI) 082112395919